Foto keluarga bersama rombongan dari Bekasi |
Buatku hari itu, tak ada yang
lebih indah selain memandangi ciptaan-Nya yang luar biasa. Alam yang sejuk
membawa perasaan yang damai. Pesona lukisan Tuhan membuat diri ini semakin merasa kerdil. Maha
Besar Allah atas segala ciptaan-Nya.
Pukul 7 malam, kami bertolak dari Bandung menuju
Garut. Kami memilih perjalanan malam agar lalu lintas tidak terlalu ramai dan
tidak merasa gerah sepanjang jalan. Kendaraan umum yang akan kami naiki sudah
menunggu penumpang sejak tadi. Para supir dan kondektur berseru-seru mencari
penumpang. Lalu, kami putuskan untuk
menggunakan elf jurusan Cicaheum-Cikajang.
Ransel yang kami gendong dibawa
oleh sang kondektur, dipikulnya agar
ransel kami tersimpan manis di dalam bagasi. Setelah elf penuh dengan
penumpang, supir mulai melajukan kendaraannya.
Malam yang hangat ditemani
kerlipnya lampu kota. Aku lebih suka memandang ke luar jendela mobil sambil
sesekali aku berceloteh tentang apa yang aku temui kepada guide di sebelahku ini. Mobil elf terus melaju, meninggalkan
Bandung dan memasuki Garut.
Kurang lebih empat jam, mobil
sudah memasuki wilayah Cisurupan, Garut. Ini merupakan titik awal kami
bertualang ke Pegunungan Papandayan. Suara desing kendaraan sudah tak terdengar.
Lalu lintas sudah sepi. Ah, ternyata sudah pukul setengah dua belas malam. Kami
melenggang mencari kendaraan menuju
tempat parkir kawasan Papandayan. Ada dua pilihan yang ditawarkan, menggunakan
ojeg atau menaiki kolbak. Kami memutuskan
untuk menggunakan kolbak, karena ongkosnya yang lebih murah.
Menikmati malam di kolbak |
Tibalah kami di area camp David
kawasan Papandayan. Kami mendatangi pos penjaga untuk melapor dan membuat
simaksi (surat izin masuk kawasan konservasi). Ini sudah tengah malam, sudah
pukul dua belas lewat. Kami dilarang melakukan pendakian karena pada malam hari
dikhawatirkan kawah Papandayan mengeluarkan gas yang beracun. Karenanya, kami
lalu mendirikan tenda di area camp David untuk sejenak beristirahat
menunggu pagi.
Shubuh yang dingin membangunkan
kami. Kami berbenah, sholat, sarapan, dan mulai melakukan pendakian. Langkah
terayun melewati jalanan yang berkerikil, menyisir pinggiran kawah. Asap
mengepul menyemburkan bau belerang yang khas. Lelahnya perjalanan tak terasa
karena sepanjang perjalanan kami disapa oleh pemandangan yang gagah. Beberapa
pendaki ada yang sudah turun, ada pula yang baru melakukan pendakian seperti
kami.
Memasuki Papandayan |
Jalan yang berkerikil |
Asap mengepul dari kawah Papandayan |
Kurang lebih 1,5 jam kami
berjalan, kami memutuskan untuk beristirahat di kawasan hutan mati. Meneguk air
sambil menikmati cantiknya barisan pepohonan dan kabut yang sudah mulai turun.
Pohon cantigi yang menghitam begitu kontras dengan pasir putih yang menghampar.
Sungguh, tak ada yang bisa menandingi karya seni yang diciptakan Tuhan.
Walking through the Die Forest |
Don't leave me, just here beside me |
Menikmati wangi Hutan Mati |
Perjalanan berlanjut menuju area
Pondok Saladah. Disini banyak ku jumpai ratusan..oh mungkin ribuan pendaki yang
mendirikan tenda di sini. Tempat ini memang tempat yang disarankan dan aku kira
paling cocok bagi para pendaki yang akan bermalam. Tempat ini aman, karena
tidak ada binatang buas yang melewati daerah ini. Terdapat pula sumber air di
sini, angin yang berhembus pun tidak terlalu kencang. Kami beristirahat di
sini, membuka perbekalan dan memasak.
Makanan yang kami masak cukup untuk
mengembalikan energi kami. Perut yang kenyang membuatku sedikit mengantuk. Aku
bersandar pada pohon sambil melihat pemandangan di sekitar, melemaskan
otot-otot yang sedikit kaku.
Mendung menyapa. Kami harus
segera berkemas. Rekanku mengusulkan untuk berkemah semalam lagi di sini. Tapi
ternyata perbekalan yang kami bawa tidak cukup sampai esok, maka kami
memutuskan untuk pulang.
Untunglah hujan belum datang
sehingga perjalanan kami menuruni gunung cukup lancar. Hanya butuh waktu satu
jam dari Pondok Saladah menuju tempat parkir. Jika hujan turun, akan lebih
beresiko dan memakan waktu yang lebih lama. Jalanan menjadi licin dan rawan
longsor di beberapa titik.
Way back into love |
Sebetulnya ada lagi tempat yang
sama-sama indah dan memanjakan mata di kawasan Papandayan ini, yaitu Tegal
Alun. Tegal Alun ini menyuguhkan pemandangan yang khas berupa hamparan bunga
Edelweis yang luas. Dari hutan mati, lanjutkan perjalanan ke atas mengikuti
petunjuk yang ada. Lama perjalanan kurang lebih 40 menit. Medan yang akan
dilalui berupa jalan setapak menanjak, semakin ke atas semakin rapat.
Tegal Alun dengan padang Edelweis nya yang anggun |
Gerimis menitik. Untunglah kami
sudah sampai di pos penjaga. Setelah melapor, kami turun menuju jalan utama
Desa Cisurupan, kali ini menggunakan ojeg. Sebelum menuju Bandung, kami singgah
dahulu di sebuah masjid untuk berbenah diri: mandi, berganti pakaian, dan
sholat. Tampaknya langit sedang tidak ceria, hujan turun semakin besar.
Semangkok baso dan beberapa potong roti bakar kami santap untuk mengisi perut
dan menjaga supaya kami tak masuk angin. Setelah cuaca bersahabat barulah kami
melanjutkan perjalanan pulang menuju Bandung.
Cinta
takkan berarti tanpa kebersamaan
Cinta
bermuara di hati dan memberikan kehangatan
Papandayan, Januari 2013
*catatan tambahan:
Update terbaru 2014
ongkos elf cicaheum-cikajang: Rp 35.000,-
sewa kolbak/orang: Rp 25.000,-
Ojeg: Rp 30.000,-
Tiket masuk: Rp 5000/orang/hari
SIMAKSI: Rp 2500/orang/malam
itineary perjalanan
cicaheum-cisurupan: + 4 jam
jalan raya cisurupan-area parkir: 20-30menit menggunakan kolbak
area parkir-pondok saladah: 3 jam
pondok saladah-tegal alun: 40 menit
Post a Comment
Post a Comment